Pendahuluan
Perbincangan mengenai suatu “kepercayaan” merupakan topik yang paling menyita perhatian publik di negeri ini. Dewasa ini, ketika seseorang membicarakan tentang kepercayaan kepada Sang Ilahi maka konsep yang muncul adalah sebuah konsep penganut/pemeluk suatu agama tertentu. Negara Indonesia sendiri menurut penjelasan UU 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama menyatakan bahwa saat ini Indonesia mengakui ada enam agama resmi di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Akan tetapi, tidak berarti keberadaan agama-agama lain dilarang di Indonesia, karena memeluk dan mempercayai kepercayaan lain diluar dari enam agama resmi tersebut merupakan sebuah kemerdekaan bagi setiap individu, yang secara tegas diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Bila dikatakan bahwa setiap individu dapat secara merdeka memilih kepercayaan mereka masing-masing dan pemerintah menjamin akan kemerdekaan tersebut, maka seharusnya bentuk-bentuk penolakan, konflik horizontal, dan intimidasi terhadap penganut kepercayaan lainnya tidak kembali terjadi. Namun ketika melihat pada realitas di kehidupan bermasyarakat, hal-hal tersebut masih sangat mudah untuk dijumpai dilingkungan kehidupan beragama, khususnya dalam lingkup penghayat kepercayaan Sapta Darma.
Melihat hal tersebut penulis mencoba merefleksikan dan menghadirkan beberapa pertanyaan sebagai bahan pemaparan argumentasi dalam essay ini. Di mana “kemerdekaan” bagi para penganut penghayat kepercayaan Sapta Darma terkait penolakan memakamkan pengikut mereka? Bagaimana peran pemerintah menanggapi hal ini? Dan apa pembelajaran yang dapat diambil dari kasus-kasus tersebut?
Aliran Sapta Darma
Aliran Sapta Darma merupakan salah satu bentuk ajaran penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Pengikut Sapta Darma memiliki keyakinan bahwa ajaran Sapta Darma bersumber pada wahyu Hyang Mahakuasa yang diterima oleh Sri Gutomo Hardjosapoero, pada tanggal 27 Desember 1952 pukul 01.00 WIB di Dusun Koplakan, Desa Pare, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. Aliran Sapta Darma memiliki tiga sumber pengajaran, yaitu: Sujud, Wewerahan Tujuh dan Sesanti. Sujud diartikan sebagai ritual ibadah, Wewerahan Tujuh diartikan sebagai pedoman atau kewajiban hidup yang harus dijalankan oleh setiap penganut, sedangkan Sesanti memiliki arti sebagai pedoman hidup bagi pengikut aliran Sapta Darma. Khusus dalam Wewerahan Tujuh ada tujuh doktrin utama ajaran Sapta Darma yang diyakini oleh mereka, ketujuh doktrin tersebut yaitu: pertama, Setia tahu marang Allah Hyang Mahaagung, Maharokhim, Mahaadil, Mahawasesa, Ian Mahalanggeng. Kedua, Kanthi jujur lan sucining ati kudhu setya nindakake angger-angger ing negarane. Ketiga, Melu cawe-cawe acancut tali wandha anjaga adeging nusa lan bangsane. Keempat, Tetulung marang sapa bae, yen perlu kanthi ora nduweni pamrih apa bae kajaba mung rasa welas lan asih. Kelima, Wani urip kanthi kapitayan saka kekuatane dew Tanduke marang warga bebrayan kudu susila kanthi alusing budi pakarti. Keenam, tansah agawe pepadhang, lan mareming liyan. Dan ketujuh, Yakin yen kahanan ndonya iku ora langgeng, tansah owah gingsir (anyakra manggilingan). Hal yang menarik juga dari Sapta Darma adalah selain peribadatan dapat dilakukan di masing-masing rumah para pengikut Sapta Darma, peribadatan juga dapat dilakukan di pusat kerohanian yang disebut dengan “Sanggar”. Ada tiga penyebutan sanggar dalam aliran Sapta Darma, yang pertama Sanggar Candi Sapta Rengga, kedua Sanggar Agung Candi Busana dan ketiga Sanggar Candi Busana.
Dinamika Kehadiran Sapta Darma Tengah Agama Resmi, Masyarakat dan Pemerintah
Banyak masyarakat Indonesia saat ini yang masih menutup mata bahkan tidak mengetahui tentang aliran penghayat kepercayaan (kebatinan) yang ada di Indonesia. Aliran penghayat kepercayaan (kebatinan) sendiri merupakan sebuah paham yang membentuk komunitas yang terdiri dari sejumlah orang dan mengikat diri untuk bersepakat dalam nilai-nilai kehidupan berdasarkan keyakinan batin. Contohnya seperti aliran Sapta Darma, banyak masyarakat Indonesia yang masih belum mengenal aliran ini, padahal bila ditelisik secara mendalam kehadiran Sapta Darma sudah ada dan berlangsung sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Oleh karena itu, seharusnya Sapta Darma dapat diterima dengan baik di Indonesia, tetapi pada realitasnya Sapta Darma tidak dapat diterima dengan sebagaimana mestinya.
Seperti dilansir oleh detiknews pada hari Sabtu, 11 Oktober 2008 terjadi perusakan sanggar milik warga Sapta Darma oleh masa Front Pembela Islam (FPI) di daerah Yogyakarta, karena dianggap sebagai aliran sesat. Menurut penulis, kasus tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa dinamika keberadaan kelompok masyarakat dari agama tertentu masih tidak menginginkan/menolak keberadaan Sapta Darma. Dinamika keberadaan Sapta Darma di tengah pemerintahan Indonesia juga masih mengalami diskriminasi. Hal itu terjadi karena identitas yang dimiliki oleh Sapta Darma sebagai “Agama Lokal” dalam ruang publik belum mendapat kedudukan yang semestinya. Seperti contohnya kolom agama di KTP belum dapat dituliskan sebagai pemeluk kepercayaan “Sapta Darma” melainkan ditulis sebagai aliran kepercayaan. Diskriminasi yang diterima oleh Sapta Darma membuat sebuah gambaran nyata bahwa pemerintah belum dapat menerima dengan legal keberadaan penghayat kepercayaan di tengah bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, pertanyaan yang muncul dibenak penulis adalah, bagaimana kemerdekaan ada bagi mereka yang berbeda dan bagi mereka yang memeluk kepercayaan yang berbeda?
Persoalan dan Tantangan Yang Dihadapi Sapta Darma
Bukan sebuah hal yang asing ketika mendengar adanya persoalan dan tantangan yang perlu dihadapi oleh para pengikut aliran penghayat kepercayaan seperti Sapta Darma. Keberbagaian persoalan dan tantangan tersebut tidak dapat ditolak keberadaannya. Penulis merasa persoalan dan tantangan tersebut merupakan akibat dari masyarakat yang kurang paham akan identitas suatu aliran kepercayaan, serta sempitnya pandangan masyarakat yang menilai aliran kepercayaan (diluar dari agama resmi) sebagai aliran yang bersifat sesat, sehingga akhirnya memunculkan persoalan dan tantangan bagi para penganut penghayat kepercayaan khususnya Sapta Darma. Pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengambil fokus untuk memaparkan persoalan dan tantangan yang dihadapi penghayat kepercayaan Sapta Darma, terkait penolakan pemakaman di salah satu TPU oleh warga sekitar dan penolakan dari pemerintah untuk meresmikan Sapta Darma sebagai agama resmi di Indonesia.
Contoh pertama yaitu Penolakan pemakaman jenazah Daodah (55) di Desa Siandong, Kecamatan Larangan, Brebes, Jawa Tengah. Jenazah Daodah dilarang untuk dimakamkan di TPU desa karena warga sekitar mengklaim bahwa TPU tersebut diperuntukkan untuk umum namun dalam artian umat Islam, dan diluar umat Islam tidak boleh dimakamkan di TPU tersebut, akhirnya jenazah Daodah dimakamkan di pekarangan rumahnya. Kasus kedua terjadi di keluarga besar Muri di Dusun Tlogowiru, Desa Tegalharjo, Kecamatan Trangkil. Ayah Muri yaitu Marto Mardin menjadi pengikut Sapta Darma yang mengalami penolakan ketika jenazahnya ingin dikebumikan di TPU desa tersebut. Setelah menjalani diskusi yang panjang, akhirnya Muri bersedia untuk mengebumikan jenazah Marto dengan cara agama Islam, serta menandatangani surat pernyataan pindah agama. Hal tersebut dilakukan oleh Muri dengan “terpaksa” karena bila tidak dilakukan Marto tidak mendapatkan tempat yang layak untuk dikebumikan pada saat itu.
Contoh permasalahan yang lainnya adalah tidak diresmikannya aliran Sapta Darma menjadi agama resmi di Indonesia. Menurut penulis dengan tidak diresmikannya aliran Sapta Darma akan menimbulkan diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat. Seperti di masa Reformasi pengikut aliran Sapta Darma yang bahkan secara jelas telah ada sejak sebelum proklamasi, mau tidak mau harus berpindah mengikuti agama resmi agar tidak digolongkan ke dalam masyarakat komunis. Bahkan diskriminasi yang diterima oleh para pengikut Sapta Darma masih sangat terasa hingga sekarang, buktinya masih banyak ditemukan kesimpangsiuran dalam pencatatan administrasi kependudukan dari pihak pemerintah. Sedangkan di masyarakat sendiri permasalahan diskriminasi seperti kasus tidak diberikannya hak-hak sipil dengan sebagaimana mestinya masih sangat mudah untuk dijumpai di kalangan pengikut Sapta Darma.
Solusi Pemerintah dari Dinamika Persoalan dan Tantangan Sapta Darma
Mengenai dinamika persoalan dan tantangan Sapta Darma yang berkaitan dengan pemakaman, pemerintah berusaha membuat penyelesaian masalah yang terbaik untuk kedua belah pihak yang bersangkutan. Penyelesaian tersebut terlihat dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata NO 43 dan NO 41 Tahun 2009, jika terjadi penolakan pemakaman di TPU maka pemerintah harus menyediakan pemakaman bagi warga Sapta Darma tersebut. Penulis merasa penyelesaian masalah tersebut sangat baik bila dipraktekan secara nyata di tengah masyarakat, karena dengan adanya peraturan dan praktek secara langsung maka kasus penolakan makam yang berujung pemaksaan tidak akan tercipta kembali. Lain halnya dengan tidak diresmikannya Sapta Darma menjadi sebuah agama resmi meskipun keberadaanya sudah ada sejak proklamasi dikumandangkan. Menurut penulis, faktor pendukung Sapta Darma tidak diresmikan sebagai agama resmi oleh karena pemerintah melihat ada berbagai aspek yang belum dipenuhi oleh Sapta Darma, sehingga Sapta Darma tidak dapat dijadikan agama resmi di Indonesia. Penulis menambahkan bahwa usaha untuk meresmikan Sapta Darma dirasa semakin sulit dijalankan, hal tersebut terjadi karena adanya halangan RUU PUB yang mengatur syarat-syarat sebuah agama dapat diakui oleh negara dan hal tersebut ternyata belum dapat dipenuhi oleh pengikut aliran Sapta Darma.
Melihat dinamika yang terjadi antara pemerintah dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh aliran Sapta Darma, penulis berpendapat bahwa perlu adanya solusi langsung yang harus dibentuk oleh pemerintah. Salah satu solusi tersebut adalah membuka ruang dialog terbuka antara penganut aliran Sapta Darma dengan masyarakat luas yang beragama resmi. Tujuannya agar para masyarakat dapat paham apa yang sebenarnya terjadi dengan aliaran Sapta Darma, sehingga persepktif sebagai “penganut aliran sesat” tidak kembali muncul dalam stigma masyarakat. Tidak hanya sampai disitu saja, dengan adanya dialog terbuka masyarakat Indonesia dapat memunculkan pemikiran kritis dalam masyarakat Indonesia, yaitu mengubah diskriminasi antar umat beragama menjadi rasa toleransi antar umat beragama.
Sapta Darma sebagai aliran yang tidak termasuk ke dalam golongan agama resmi bahkan kehadirannya sering mengalami penolakan oleh masyarakat sekitar, tetap menjalankan kewajiban mereka terhadap negara sama seperti masyarakat Indonesia yang keberadaannya diakui oleh negara. Hal tersebut dapat terjadi karena pengikut Sapta Darma sangat memegang erat pedoman dalam pengajaran Wewerahan Tujuh pada poin 2 dan 3. Poin 2 memiliki arti bahwa setiap pengikut Sapta Darma harus menjalankan perundang-undangan negaranya dengan jujur, suci hati, dan setia. Nilai tersebut yang membuat pengikut Sapta Darma dapat menerima dengan “legowo” setiap peraturan di negara ini, meskipun peraturan tersebut terkadang mendiskriminasikan mereka. Poin ke 3 yang memiliki arti untuk menyingsingkan lengan baju, menegakan berdirinya nusa dan bangsa. Hal ini juga yang menjadi pedoman Sapta Darma tetap ikut membangun dan melestarikan kehidupan bangsa Indonesia, karena bagi aliran ini warga negara yang baik adalah warga negara yang dapat ikut membangun dan menjaga negri ini untuk kebahagiaan umat manusia. Pedoman dan sifat “kelegowoan” yang dimiliki oleh aliran Sapta Darma menjadi pembelajaran dan refleksi penting bagi penulis. Penolakan, diskriminasi, tidak diakui, dan konflik-konflik lainnya tidak membuat Sapta Darma menjadi aliran yang memecahkan Indonesia, melainkan dari dua pedoman sebagai warga negara tersebut Sapta Darma dapat membuktikan bahwa “sesat” yang berkotasi pada perilaku negatif bagi negara tidak pernah ada dalam diri aliran Sapta Darma. Perilaku tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi penulis atau bahkan agama resmi dan masyarakat Indonesia, bahwa pendiskriminasian tidak harus dibalas dengan pertentangan, melainkan kasih dan kelegowoan untuk kemajuan negara lebih penting untuk diterapkan.
Kesimpulan
Kemerdekaan dalam hal penganut kepercayaan merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap masyarakat Indonesia, oleh sebab itu seluruh pihak tidak dapat merenggut kemerdekaan dari setiap individu, baik kepada penganut agama resmi dan penghayat kepercayaan. Pemerintah sebagai tonggak utama pemegang peraturan hukum sudah seharusnya dapat menjadikan masyarakat Indonesia paham akan arti penghayat kepercayaan, agar tidak kembali terjadi kesalahan persepsi, diskriminasi, bahkan penolakan bagi penghayat kepercayaan di Indonesia.
By: Hizkia Windi Elista
Daftar Pustaka
Aliran Kebatinan. (2020, Maret 22). Retrieved from Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas: https://id.wikipedia.org/wiki/Aliran_kebatinan
Ini Syarat agar Agama Diakui oleh Negara. (2021, Juni 22). Retrieved from Republika.co.id: https://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/08/13/na8cr2-ini-syarat-agar-agama-diakui-oleh-negara
Maarif, S. (2018). PASANG SURUT REKOGNISI AGAMA LELUHUR. Yogyakarta: CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies).
Mufid, A. S. (2012). Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia.
Mustholih. (2014, Desember 08). Warga Tolak Jenazah Penganut Sapta Darma. Retrieved from Okezone: https://news.okezone.com/read/2014/12/08/340/1076367/warga-tolak-jenazah-penganut-sapta-darma
Ni Made Rasmi Himawari, T. M. (2019). SPRITUALWELL-BEING PENGANUT ALIRAN KEPERCAYAAN SAPTA DARMA.
Nurdin, N. (2014). Potret "Suram" Kematian Penghayat Sapta Darma.
Rachmadyah, S. (2020, September 17). HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia. Retrieved from Hukum Online: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6556/ham-dan-kebebasan-beragama-di-indonesia/
Rohmawati, H. S. (2020). Jurnal Yaqzhan.
Sapta Darma Bantah Sebagai Aliran Sesat. (2008, Oktober 15). Retrieved from Detik News: https://news.detik.com/berita/d-1020139/sapta-darma-bantah-sebagai-aliran-sesat
Wahyu Nugroho, K. d. (2019). Memperluas Horizon Agama dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: PSAA Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana dan YAYASAN TAMAN PUSTAKA KRISTEN INDONESIA.